Selasa, 24 Februari 2009

Mengapa Pilih Golput?

Inisiatif pemerintah untuk meminta MUI memfatwakan haramnya golput menimbulkan banyak tanda tanya di setiap kalangan masyrakat. Sebagai suatu aspek yang seharusnya independen MUI tidak berhak untuk mengeluarkan fatwa haram golput, takutnya MUI sudah terakomodir oleh partai-partai yang ada, jelas ada kepentingan kalangan elit partai dari keluarnya fatwa haram golput oleh MUI.
Kalau MUI bisa dibeli oleh partai elit politik berarti perlu dipertanyakan fatwa-fatwa yang selama ini dikeluarkan oleh MUI. Dan perlu kejelasan status MUI sebagai lembaga keagamaan, apakah dia konsisten ataukah tidak konsisten, di setiap mengeluarkan fatwanya yang harus diadopsi oleh setiap kalangan itu.
Tidak ada larangan bagi setiap partai untuk menarik minat pemilihnya, tapi perlu dipertimbangkan jika itu tidak sesuai dengan batasan hukum yang ada.
Ada dua faktor utama yang rasional kenapa masyarakat banyak yang memilih golput, pertama : masyarakat tidak tahu tentang calon yang mereka pilih, baik dari segi performen atau kualitas, dan kesiapan calon itu sendiri. Kedua : masyarakat sudah bosan dengan sistem yang ada yang sudah lama mencampakkan mereka, tanpa ada sedikit perubahan yang berarti yang telah dihasilkan oleh elit politik.
Dua faktor tersebut dapat menjadi bukti bahwa gagalnya partai politik di dalam mengemban amanah masyarakat selama ini. Dan tidak salah jika banyak masyarakat yang beranggapan bahwa golput adalah pilihan utama, fatwa haram MUI bisa dianggap sebagai bagian membatasi pilihan masyarakat di panggung demokrasi.
Jika golput adalah suatu pilihan maka tidak ada salahnya jika masyarakat banyak yang memilihnya.
Ada beberapa hal yang seharusnya menjadi pertimbangan MUI sebelum menggeneralisir bahwa golput itu haram, Pertama seberapa besar pengaruh partai politik bagi kehidupan masyarakat terutama rakyat menengah ke bawah, Kedua apakah semua calon yang diusung partai politik, baik sebagai calon legislatif maupun sebagai calon presiden sudah memenuhi kriteria ataukah hanya syarat kuota saja.
Jika dua faktor tersebut telah dipenuhi maka anggapan untuk golput bukanlah pilihan yang tepat, oleh sebab itu fatwa MUI harus di dukung penuh. Namun jika kedua faktor tersebut tidak bisa dipenuhi maka golput bisa dijadikan sebagai pilihan terakhir.
Golput memang tidak bisa menyelesaikan masalah, namun juga tidak bisa dikatakan sebagai suatu masalah, ikut ber kontribusi pun di dalam pemilihan umum juga tidak bisa dikatakan dapat menyelesaikan masalah sebagai buktinya pemilu 2004 lalu hanya menghantarkan perampok-perampok ber dasi saja di gedung-gedung pemerintahan dan hasilnya rakyat sebagai korban.
Bukan Reformasi tetapi Revolusi Jilid dua (II) untuk Indonesia yang lebih baik seperti apa yang telah dikatakan oleh saudara Marsudi. Indonesia harus bisa merenovasi sistem pemerintahannya karena yang sekarang bermasalah bukanlah personal tetapi lebih kepada sistem yang menjalankan roda pemerintahan ini. Dan Mahasiswa pun sepakat jika Indonesia sekarang hanya akan bangkit jika telah meninggalkan sistem yang lama (baca) Kapitalis.
FKIP Sudah Tidak Bisa Memberi Contoh Yang baik bagi fakultas lain, 46 mahasiswa di keluarkan dari kelas nya hanya karena tidak mau membeli diklat dari dosennya.
satu kasus mungkin telah terjawab namun kasus lain masih banyak lagi yang masih disembunyikan dan sepertinya difasilitasi oleh Program Studinya seperti PKL (Praktek Kerja Lapangan) atau Studi Banding yang tidak sedikit memakan biaya bahkan lebih dari Rp 2.500.000, hanya untuk satu mata kuliah saja. yang lebih lucu lagi mata kuliah tersebut sifat nya wajib bagi seluruh mahasiswa yang berada di program studi yang bersangkutan seperti: Biologi, Bimbingan Konseling, PPKn, Sosiologi Antropologi, Ekonomi.
seharusnya yang berhak mewajibkan mahasiswanya untuk melakukan Studi Banding Keluar Kota Ialah Sejarah, Namun Sejarah Bisa dipandang lebih bijak dari program studi yang lainnya di FKIP Unlam Saat ini.
seharus pihak tertinggi kampus seperti senat fakultas harus bisa memberi kan kebijakan atau saksi kepada program studi yang telah menggandakan fungsi kurikulum karena dapat menghambat lajunya dunia pendidikan kita pada saat ini. wassalam.
Topeng Dunia Pendidikan FKIP Unlam


Dunia pendidikan Indonesia saat ini begitu sangat memilukan, mulai dari minimnya dana yang dianggarkan oleh pemerintah yang hanya berkisar 20% dari anggaran APBN, sampai pencabulan anggaran pendidikan oleh birokratnya.
Belum lagi akhir-akhir lalu telah lahir UU yang sangat menggerogoti dunia pendidikan kita yakni UU BHP (Badan Hukum Pendidikan). Walhasil pendidikan Indonesia semakin carut-marut.
Di Banjarmasin khususnya di salah satu perguruan tinggi negeri, tidak jarang dosen atau pengajar memanfaatkan profesinya untuk meraup keuntungan. Mulai dari menjual bahan-bahan ajar (Buku Paket, Copy CD, Diklat dll), semua itu tidak jarang difasilitasi oleh ketua jurusan atau ketua program studi yang bersangkutan. Bahkan kurikulum pun tidak jarang dijadikan sebagai sarana untuk membuat misi mereka berjalan dengan lancar, sebagai contoh adanya mata kuliah Studi Banding atau Study Tour atau lebih sering dikenal dengan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Perguruan Tinggi Negeri, yang banyak sekali memakan biaya bahkan lebih dari Rp 2.500.000,00. Yang lebih disayangkan semua ini terjadi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang sejatinya bisa memberi contoh baik kepada Fakultas-fakultas yang lainnya.
Akan semakin terkikisnya masyarakat grass root dari dunia pendidikan jika pemerintah tidak memperhatikan penyakit yang menyerang dunia pendidikan kita saat ini. Mendiknas sebagai salah satu lembaga yang seharusnya menangani kurikulum-kurikulum berganda seperti ini bisa mengeluarkan sikap tegas dan profesional, agar kurikulum tidak dijadikan pihak kampus atau sekolah sebagai alat untuk menarik iuran dari peserta didiknya.
Wajar jika penduduk di negeri ini banyak yang jarang berfikir rasional, seperti percaya pada dunia-dunia klinik atau tempat-tempat perdukunan seperti yang terjadi akhir-akhir ini di Jombang Jawa Timur. Semua itu terjadi karena minimnya pendidikan yang mereka terima akibat mahalnya biaya pendidikan.
Bahkan yang lebih mengejutkan di PTN di Banjarmasin khususnya di Unlam salah satu dosen dengan berani mengeluarkan Mahasiswa dari ruangan kelas bahkan tidak tanggung-tanggung 46 Mahasiswa dari 50 Mahasiswa diusir dari ruang kelas dengan alasan tidak membeli diklat yang dijual oleh dosen yang bersangkutan, yang lebih memprihatinkan lagi kasus tersebut lagi-lagi terjadi di salah satu Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat dan sama sekali tidak mendapat respon dari pihak petinggi kampus.
Kasus-kasus demikian hanya sebagian kecil yang dapat tertangkap oleh khalayak, mungkin ada berjuta-juta kasus yang selama ini membuat dunia pendidikan kita terseret-seret. Maka oleh sebab itu sudah saatnya mengikis habis penjahat ber dasi di lembaga-lembaga pendidikan, baik dari tingkat bawah sampai ke perguruan tinggi.
Masalah tersebut tidak hanya akan membawa penduduk pribumi ini menjadi bangsa bodoh akan tetapi juga akan mencetak kader-kader bangsa ini semakin lemah dan tak berdaya.
Semua ini seharusnya bisa dengan cepat ditangani oleh pihak-pihak yang berwewenang, kalau tidak dunia pendidikan akan semakin menuju lembah kehancurannya terutama dari segi moral.