Kamis, 23 Oktober 2008

MENCEGAH BUDAYA KORUPSI

MENCEGAH BUDAYA KORUPSI
Indonesia memang ‘surga’ para koruptor. Entah mengapa, tindakan haram korupsi seolah-olah telah menjadi ‘kebiasaan’ sebagian pejabat kita. Koruptor sudah merajalela. Menurut Sekretaris Jenderal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), M Syamsa Ardisasmita, berbeda dengan penanganan kasus korupsi sebelumnya pada tahun 1999-2004, kasus korupsi lebih banyak terjadi di DPRD. Tercatat ada 23 kasus korupsi di KPK yang melibatkan anggota DPRD di berbagai provinsi.
Lebih mengerikan lagi, aparat penegak hukum, yang seharusnya menjadi ‘pemburu’ koruptor, justru menjadi ‘backing’ koruptor. Terbukti terungkapnya kasus Kejaksaan Agung dengan Artalyta.
Yang lebih mengerikan lagi sekarang korupsi di lakukan secara ber jamaah, dan telah merambat di setiap bidang pemerintahan mulai dari Aparat Keamanan melalui kasus suap-menyuap dan kasus tilang yang uangnya hanya masuk kantong para aparat keamanan setempat, Aparat Hukum, Ranah Pemerintahan yang menjadi tempat nomor satu merajalelanya kasus korupsi, bahkan kini sudah merambat hingga dunia Pendidikan yang dilakukan oleh birokratnya sampai para pendidik yang seharusnya menjadi contoh yang baik bagi anak-anak bangsa ini.
Korupsi tidak jauh beda dengan kasus penipuan dan perampasan secara paksa hanya saja bahasa lebih keren karena di lakukan oleh kalangan ‘berdasi’ dan kalangan ‘intelektual’. Sekarang lewat pemerintahan SBY-JK kasus korupsi seakan-akan di tangani dengan serius, rakyat pun terpedaya.
Penanganan kasus korupsi sangat berbeda dengan kasus-kasus yang lainnya meskipun di depan mata kita aparat kelihatan tegas padahal tidak jarang dari para terpidana kasus korupsi yang mendapatkan fasilitas yang lebih baik dari pada kasus-kasus yang lainnya bahkan mendapatkan bantuan hukum, meskipun kasus yang dia lakukan sudah sangat jelas di mata publik. Maka oleh sebab itulah kasus korupsi tidak pernah kunjung tuntas di negeri ini. Meski pun KPK berusaha dengan keras agar di setiap sudut kota di negeri ini di tuliskan Awas Bahaya Laten Korupsi, tidak akan pernah menghentikan korupsi.
Jika dilihat lebih dalam, ada dua hal yang mendasari terjadi nya korupsi. Pertama, mental aparat yang bobrok dikarenakan tidak adanya iman Islam di dalam tubuh aparat. Jika seorang aparat telah memahami betul perbuatan korupsi itu haram maka kesadaran inilah yang akan menjadi self control bagi setiap individu untuk tidak berbuat melanggar hukum Allah. Sebab, melanggar hukum Allah, taruhannya sangat besar: Azab neraka.
Kedua: kerusakan sistem politik dan pemerintahannya. Kerusakan sistem inilah yang memberi banyak peluang kepada aparatur Pemerintah maupun rakyatnya untuk ‘beramai-ramai’ melakukan korupsi. Peraturan undang-undang korupsi yang ada justru di indikasi ‘mempermudah’ timbulnya budaya korupsi karena hanya menguntungkan kroni penguasa.
Mahalnya biaya politik ‘Kampanye’ ini memicu para gubernur, bupati, walikota bahkan bisa jadi presiden akan bekerja keras untuk ‘mengembalikan’ modal politiknya yang selama kampanye telah dikeluarkan. Bukan hanya modalnya, ‘keuntungan pun’ tentu akan di buru juga. Jika sudah demikian, para pejabat publik secara umum akan sangat kecil kemungkinannya memikirkan kesejahteraan rakyat. Mereka hanya akan memikirkan bagaimana mengembalikan modal dan keuntungan politik berikut modal tambahan untuk maju ke pentas pemilihan kepala daerah ataupun presiden berikutnya.
Jadi tidak salah jika ada yang mengatakan sistem politik dan pemerintahan yang ada saat ini memang telah memacu percepatan terjadinya korupsi.
Lalu apakah kita akan percaya dengan pemilu yang akan dilaksanakan pada tahun 2009 ini, mampukah pemilu nanti menghasilkan Pemimpin-pemimpin sejati seperti yang diharapkan yang akan membawa rakyat Indonesia kearah yang lebih baik. Jawab nya tidak. Pemilu hanya akan menghasilkan para koruptor yang tidak berperikemanusiaan, inilah dunia Demokrasi yang hanya akan membuat hukum menjadi mandul dan aparat yang bermental lemah.
Bukankah sudah terlihat begitu nyata, bahwa kerusakan telah merajalela dalam sistem dan orang (pejabat negara)? Kerusakan inilah yang kemudian memacu terjadinya korupsi, yang berujung pada kesengsaraan rakyat. Jika sistem dan orangnya saat ini telah terbukti menyengsarakan rakyat, apakah kita akan membiarkan sistem dan orangnya tetap memimpin negeri ini? Bukankah sudah saatnya kita menggantinya dengan sistem dan orang yang baik, sistem Islam dalam bingkai Pemerintahan Islam serta orang-orang yang berkepribadian Islami yang senantiasa memegang amanah? Bukankah saatnya Indonesia kita berubah menjadi lebih baik.
Untuk menghentikan Budaya Korupsi di perlukan sistem Islam bukan keberanian. Oleh sebab itu, langkah paling awal, seluruh konsepsi syariah yang dibutuhkan untuk mewujudkan kebangkitan akidah, sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem sosial, sistem pendidikan, sanksi hukum, hukum pembuktian, politik luar negeri, dan sebagainya harus dirumuskan dan disiapkan dengan matang dan mendalam.
Ketika konsepsi syariah itu telah siap, agar umat berhasil dihimpun berlandaskan konsepsi itu, maka harus ada orang-orang yang secara terorganisasi melakukan kontak dinamis dengan umat untuk mensosialisasikan fikrah (konsepsi syariah) kepada mereka.
Momentum sekarang ini sangat pas kita jadikan momentum untuk membulatkan tekad guna berjuang sekuat tenaga mewujudkan kebangkitan umat Islam. hanya satu jalan untuk itu, yaitu dengan mengemban dan menerapkan akidah Islam dan sistem yang terpancar darinya dalam bingkai Pemerintahan Islam. Umat Islam khususnya dan umat manusia sedunia umumnya sejatinya tengah menunggu peran kita. Wallahu a’lam bi ashshawab.