Selasa, 23 Desember 2008

“Sistem Pendidikan Sekuler Mahal,
Sistem Pendidikan Islam Pasti Gratis”

Pada dasarnya, sistem pendidikan Islam didasarkan pada sebuah kesadaran bahwa setiap Muslim wajib menuntut ilmu dan tidak boleh mengabaikan nya.
Allah Swt. Mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu dan membekali dirinya dengan berbagai macam ilmu yang dibutuhkannya dalam kehidupan. Ilmu dianggap sebagai sesuatu yang harus ada, yang termasuk ke dalam kebutuhan primer manusia.
Atas dasar inilah negara wajib menyediakan pendidikan bebas biaya kepada warga negaranya, baik Muslim maupun non-Muslim, agar mereka bisa menjalankan kewajibannya atau memenuhi kebutuhan primer mereka. Negara bersungguh-sungguh berupaya memperoleh pendapatan negara, seperti yang telah dicontohkan Rasulullah saw, dalam mengelola perekonomian negara, semua aset negara baik berupa tambang batubara, minyak, gas, besi, tembaga, timah, emas dan yang laiknya termasuk hutan dan sumber daya laut yang berupa mutiara, dan kekayaan laut laiknya dikelola semaksimal mungkin oleh negara untuk kesejahteraan rakyat, agar bisa memenuhi kebutuhan primer bagi negaranya, termasuk kebutuhan pendidikan yang diselenggarakan secara gratis. Bukan diserahkan kepada asing dan pihak swasta?
Negara tidak hanya sekedar berkewajiban menyediakan pendidikan yang bebas biaya, tetapi juga berkewajiban bertindak sebagai penyelenggara sistem pendidikan yang berkualitas, dengan asas pendidikan dan tujuan pendidikan sebagaimana berikut:
Asas pendidikan,
Asas pendidikan adalah akidah Islam. Bukan seperti sistem pendidikan sekuler yang mana agama hanya dijadikan sebagai mata pelajaran saja bukan sebagai dasar bagi seluruh mata pelajaran, bahkan di perguruan tinggi pendidikan agama hanya merupakan mata kuliah wajib yang mempunyai nilai bobot hanya 2 sks saja sama dengan mata kuliah lainnya. Tetapi Islam memandang akidah sebagai dasar kurikulum (mata ajaran dan metode pengajaran) yang diberlakukan oleh negara. Akidah Islam berkonsentrasi pada ketaatan pada syariat Islam. ini berarti tujuan, pelaksanaan, dan evaluasi pelaksanaan kurikulum harus terkait dengan ketaatan pada syariat Islam. pendidikan dianggap tidak berhasil apabila tidak menghasilkan keterikatan pada syariat Islam pada peserta didik, walaupun mungkin membuat peserta didik menguasai ilmu pengetahuan. Jadi wajar ketika sistem pendidikan Islam diterapkan maka tidak akan ada lagi siswa atau mahasiswa yang melakukan sex bebas, mengkonsumsi narkoba, tauran, bolos sekolah, bahkan sistem pendidikan Islam tidak akan mencetak para pejabat yang korup seperti yang telah terjadi di sistem pendidikan sekuler sekarang dimana siswa dan mahasiswanya banyak yang melakukan sex bebas, mengkonsumsi narkoba dan tauran pun tidak pernah lepas di dunia para intelektual yang dikatakan sebagai calon pemimpin bangsa ini.
Tujuan pendidikan,
Tujuan pendidikan diartikan sebagai suatu kondisi yang ideal yang akan dicapai peserta didik. Pendidikan Islam adalah upaya sadar yang terstruktur, terprogram, dan sistematis, yang bertujuan mengembangkan manusia yang: (1) berkepribadian Islam; (2) menguasai tsaqofah atau pemikiran Islam; (3) menguasai ilmu kehidupan (sains teknologi dan seni) yang memadai, yang selalu menyelesaikan masalah kehidupannya sesuai dengan syariat Islam.
Seorang peserta didik harus dikembangkan semua kecerdasannya, baik kecerdasan intelektual, spiritual, emosional, dan politiknya. Karena semuanya dituntut dalam perjalanan hidup sebagai khifah di muka bumi.
Para peserta didik kelak akan menjadi profesi-profesi di masyarakat sekedar mendapatkan materi untuk kehidupannya di dunia, tetapi juga dilandasi motivasi menjalankan kewajiban kifayah untuk memudahkan kehidupan masyarakat. Seorang dokter, misalnya, tidak perlu mengejar setoran untuk mengembalikan modal sekolah kedoktorannya. Ia mengobati pasien sebagai bentuk ibadahnya kepada Allah. Bermodalkan ilmu kedokteran yang dikuasainya dan dengan tsaqafah (Pemikiran) Islam yang dimilikinya, ia tidak akan mengobati pasien dengan cara-cara yang diharamkan Allah.
Selain itu, untuk mencapai tujuan pendidikan yang kondusif maka diperlukan juga pendidik (guru dan dosen) atau orang-orang yang menyampaikan pelajaran, teladan bagi peserta didik, dan pelaku cara-cara (strategi) mengajar dalam pendidikan yang lain kepada siswa. Tenaga pendidikan (pegawai administrasi, dokter sekolah, dan tenaga lain di sekolah) juga merupakan orang-orang yang menentukan terwujud tidaknya budaya sekolah yang kondusif bagi tercapainya tujuan pendidikan. Karenanya mereka harus direkrut dari orang-orang yang memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan. Negara harus menentukan kualifikasi pendidik dan tenaga pendidikan. Misalnya, ditentukan bahwa mereka semua harus berkepribadian Islam, memiliki etos kerja yang baik, sehingga tidak ada guru atau dosen yang bolos mengajar, amanah, dan kapabel menjalankan tugas masing-masing. Untuk pendidik mereka menguasai ilmu yang akan diajarkan kepada peserta didik dan menguasai metode-metode dalam pendidikan dan pengajaran. Jadi sistem pendidikan Islam lebih baik dari pada sistem pendidikan sekuler yang telah diberlakukan selama bertahun-tahun dan tidak kunjung memberikan kebermanfaatan yang pasti kepada masyarakat banyak. Sebagai contoh sekarang banyak rumah sakit yang hanya meriam pasien dari golongan orang-orang kaya saja sedangkan orang miskin dilarang untuk berobat di rumah sakit “orang miskin dilarang sakit”, kemudian tidak sedikit bangku-bangku pendidikan yang tidak bisa dicapai oleh masyarakat kecil, padahal hak mereka adalah untuk mengenyam dunia pendidikan yang berkualitas itu sudah menjadi bagian dari hak mereka sebagai rakyat di sebuah negara yang didasarkan atas asa hukum yang berlaku.
KRISIS MULTI DIMENSI DAN KRISIS PEMIMPIN
(refleksi 100 Kebangkitan Nasional dan 10 Reformasi)


Indonesia, yang mengalami lumpuh total akibat terserang penyakit kronis yang sukar disembuhkan sehingga sempat membuat negeri ini “koma”. Salah satunya yaitu krisis ekonomi moneter.
Di tengah situasi perekonomian yang kontemporer saat ini, angka kejahatan semakin meningkat, sebagai salah satu dampak negatif dari krisis ekonomi. Ironisnya lagi, seiring dengan krisis ekonomi tersebut, krisis moral pun juga ikut merajalela. Bahkan banyak orang yang tega yang menghilangkan nyawa saudaranya hanya karena sesuap nasi. Realita ini tidak bisa kita pungkiri.
Negeri yang dulu pernah menjadi swasembada beras kini telah menjadi negeri yang kering dan tandus setelah menjadi negara Indonesia. Negeri yang dulu pernah menjadi pengekspor tenaga kerja profesional ke luar negeri kini telah menjadi negeri pengekspor buruh. Yang menjadi PR kita semua adalah, apakah pendidikan di Indonesia hanya mampu mencetak mental-mental buruh?
Yang lebih memilukan lagi mental rakyat di negeri ini lebih senang menjadi buruh ketimbang menjadi pemilik usaha. Bukan hanya di luar negeri di dalam negeri pun penduduk pribumi ini tetap menjadi buruh.
Kalau di hitung dari sabang sampai merauke kekayaan alam kita sangat melimpah ruah bahkan untuk PT freeport saja mampu untuk membangun AS yang lebih baik dari AS sekarang. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Kemana semua kekayaan alam kita? Kenapa kita menjadi buruh? Kenapa rakyat Indonesia banyak yang miskin? Kenapa setiap tahunnya selalu ada saja peningkatan jumlah pengguguran padahal sumber laut kita melimpah, tambang kita banyak, dan serentetan kekayaan alam lainnya yang sampai saat ini dikeruk orang lain. Dimana kita saat kapal batu bara melintasi laut kalimantan? Dimana pemerintah kita saat kapal pengangkut emas di Papua mengangkut kekayaan alam miliki kita? Kenapa BBM kita naik padahal stok minyak mentah kita banyak? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang hingga saat ini tidak bisa dijawab oleh penguasa kita?
Padahal di Gedung-gedung pemerintahan kita banyak sekali pejabat nya, mungkin kalau ditulis di kertas putih tentu tidak akan cukup kalau hanya 100 lembar kertas, bahkan untuk menulis nama-nama mereka saja mungkin tidak akan cukup dengan hanya satu pulpen saja. Tapi apa kerja mereka, mobil mewah, rumah mewah, makanan mewah, pakaian mewah, dan serba mewah lainnya yang kita berikan sepertinya tidak cukup untuk fasilitas mereka hingga mereka harus ‘merampok’ rakyat lagi dengan kekuasaan mereka (korupsi, suap-menyuap dan berbagai macam niputisme lainnya).
Kalau kita berkaca dari Umar bin Khatab sebagai seorang pemimpin, dia sanggup merelakan anaknya menangis karena ingin membeli baju dari pada memakan uang yang bukan haknya. Umar lebih rela tinggal dibawah gubuk dari melihat rakyat yang tinggal dibawah gubuk padahal dia adalah seorang penguasa pada saat itu. Bahkan Umar sanggup mengangkat beras sendiri untuk memberi makan rakyatnya dan memasak nya dengan tangan nya sendiri.
Inilah salah satu sosok pemimpin yang dirindukan rakyat hingga saat ini. Ketidak percayaan rakyat terhadap partai-partai politik sekarang sangat beralasan, sebabnya sudah 100 tahun hari kebangkitan nasional dan bahkan sudah 63 tahun kita merdeka ditambah lagi dengan 10 Reformasi, keadaan kita masih seperti ini bahkan lebih buruk dari yang dulu. Berarti pemilu yang sudah-sudah tidak menghasilkan apa-apa kecuali penderitaan rakyat, bahkan pemilu 2004 yang lalu yang telah mengantarkan SBY-JK menjadi seorang pemimpin yang dianggap sebagai pemilu yang paling demokratis pun sama saja hasilnya. Lalu mungkinkah kita akan berharap pada pemilu yang akan datang, sampai kapan kita akan berharap pada pemilu?
Saatnya Indonesia melawan, bangkit untuk mandiri dan bersatu melawan Imperialisme penjajah, menasionalisasikan semua aset-aset kita, mengembalikan hak-hak rakyat yang dirampas. Sebagaimana yang telah di lakukan India dan Cina, India dan Cina bukan hanya menguasai ilmu dan teknologi tetapi sudah menguasai ilmu antariksa jangan ditanya apakah mereka mampu menguasai swasembada beras.
Sebagai sebuah bangsa yang telah lebih setengah abad merdeka, Indonesia sudah seharusnya menampakkan diri sebagai “macan” Asia. Lihatlah keberanian pemimpin dunia macam Evo Morales (Bolivia), Hugo Chavez (Venezuela), Rafael Correa (Ekuador), atau Mahmoud Ahmadinejad (Iran) yang dengan gagah berani menentang Imperialisme ekonomi AS dengan menasionalisasikan aset-aset strategisnya dan mengusir perusahaan multinasional yang menggerogoti SDM bangsa mereka. Wallahu a’alam bi ash-shawab
BENARKAH PLATO DAN ARISTOTELES TIDAK BEGITU
PERCAYA PADA DEMOKRASI?
(dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat)


Istilah “demokrasi” saat ini tidak dapat di lepaskan dari wacana politik apapun baik dalam konteks mendukung, setengah mendukung, atau menentang. Mulai skala warung kopi pinggir jalan sampai hotel berbintang lima, demokrasi menjadi objek yang paling sering di bicarakan, paling tidak di negeri ini.
Dengan logika antitesis, lawan kata demokrasi adalah totaliter jika tidak demokratis pasti totaliter. Totaliter sendiri memiliki kesan buruk kejam, bengis, sehingga negara-negara komunis sekalipun tidak ketinggalan memakai istilah demokrasi walaupun diembel-embeli sebagai “ Demokrasi Sosialisme” atau “Demokrasi Kerakyatan”. Dalam kaitannya masalah ini, UNESCO pada tahun 1949 menyatakan:
“… mungkin untuk pertama kali dalam sejarah, demokrasi di nyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang di perjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh…
Kedaulatan didefinisikan sebagai “menangani dan menjalankan sesuatu kehendak atau aspirasi tertentu”. Dalam sistem demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat. Hal ini berarti rakyat sebagai sumber aspirasi (hukum) dan berhak menangani serta menjalankan aspirasi tersebut.
Dalam sistem demokrasi, kekuasaan berada ditangan rakyat dan mereka “mengontrak” seorang penguasa untuk mengatur urusan dan kehendak rakyat. Jika penguasa dipandang sudah tidak akomodatif terhadap kehendak rakyat, penguasa dapat dipecat karena penguasa tersebut merupakan “buruh” yang di gaji oleh rakyat untuk mengatur negara. Konsep inilah yang diperkenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755), dikenal dengan sebutan kontrak sosial.
Dalam sistem demokrasi, kebebasan adalah faktor utama untuk mengembalikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengekspresikan apapun bentuknya secara terbuka dan tanpa batasan atau tekanan.

Keprihatinan bangsa terjadi apabila kepemimpinan tidak lagi melindungi kepentingan publik (rakyat), di beberapa negara yang tertulis dalam catatan sejarah mengetengahkan keadaan negara yang lebih mementingkan kehendak pemimpinnya, maka egoisme individual pemimpin itu akan menggusur negara kepada kemiskinan rakyatnya dan kehancuran negaranya. Logika kepemimpinan adalah membawa kehidupan rakyatnya menuju kepada kesejahteraan, bukan sebagai arena menarik sebesar-besarnya kekayaan intelektual, materi, maupun tenaga rakyatnya untuk kesejahteraan pemimpinnya. Gejala penyelewengan pemimpin telah berjalan sejak sebuah kelompok manusia/organisasi terbentuk di bumi ini. Tipikal kepemimpinan kuno yang tingkat peradabannya masih rendah, pemimpin selalu dianggap sebagai dewa, sehingga rakyat diharuskan mengabdi dan memenuhi segala perintahnya, meskipun perintah tersebut menyengsarakan mereka. Dengan kata lain kepemimpinan pada masa peradaban rendah, rakyat merupakan objek bagi peningkatan kesejahteraan pemimpin, sehingga kekayaan alam dan sumberdaya lainnya diperuntukan untuk kesejahteraan pemimpin.
Demokrasi modern tidak memberikan ruang kepemilikan sumber-sumber ekonomi yang berlimpah dan sangat dibutuhkan masyarakat banyak dikuasai oleh negara untuk dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik sumber-sumber ekonomi tersebut (faktor produksi). Demokrasi modern memberikan keleluasaan kepada pihak swasta (individual) untuk menguasai sumber-sumber ekonomi, praktik teori demokrasi ini sebenarnya sedang memperlihatkan bahwa praktik monopoli kepemilikan sumberdaya diperkenankan, dan negara menjadi lembaga legalisasi terhadapnya. “Mungkinkah keadilan dapat dicapai dengan kondisi ini ?”, Bukankah praktik ini sedang mempertontonkan teori kekuatan hewan di hutan, dimana yang kuat boleh menjadi pemimpin ?. Kecerdasan mana yang dapat menerima demokrasi modern dapat dijadikan model kepemimpinan yang mensejahterakan rakyat suatu negara, dan dimanakah letak kekuasaan negara sebagai pelindung rakyatnya, apabila kepemilikan sumber-sumber ekonomi tidak diatur oleh negara, tapi diserahkan sebebas-bebasnya kepada individu ?.
Sehingga mungkin Plato dan Aristoteles bertanya untuk apa ada negara jika yang menjalankan roda perekonomian adalah swasta, sedangkan negara sifatnya hanya sebatas wasit di arena pertandingan sedangkan yang menjadi pemain adalah rakyatnya. Yang kuat dapat menindas yang lemah dan yang berkuasa dapat menggunakan kekuasaannya untuk bertindak sesukanya, hal serupa tidak lebih seperti hukum yang ada di hutan, jadi demokrasi dapat disebut sebagai hukum rimba?
Suara mayoritas selalu menjadi rujukan bagi sistem demokrasi, sehingga rakyat bisa menggantikan kedudukan Tuhan di dunia. Sesuatu tidak lagi diukur dengan benar atau salah tetapi diukur dengan suara mayoritas, sehingga tidak aneh jika demokrasi melahirkan disintergrasi nilai luhur suatu agama, sosial, dan budaya di suatu masyarakat.
Praktik Korupsi, monopoli terhadap sumber-sumber ekonomi, swastanisasi sumber-sumber ekonomi yang merupakan hajat hidup rakyat banyak, gaya kepemimpinan yang selalu ingin diutamakan, serta masih memerlukan upeti, money politic, eksploitasi sumber daya alam yang mengabaikan keseimbangan, dan meningkatnya jumlah kemiskinan akibat rakyat miskin menjadi objek pemilik sumber daya ekonomi, merupakan produk demokrasi modern, sebab demokrasi ini memperkenankan penguasaan individual terhadap sumber daya ekonomi dengan berbagai cara.
Praktik kepemimpinan dengan pendekatan kekuasaan ekonomi, akan melahirkan penindasan, kedzaliman, dan kerakusan. Kepemimpinan model seperti ini akan melahirkan ketakutan bagi para pemimpin yang sedang duduk kehilangan jabatan. Hal ini terjadi karena berindikasi turunnya jabatan akan menurunkan jumlah kekayaan, sehingga upaya mempertahankan kekuasaan dan memperbanyak kekayaan menjadi faktor penentu kelestarian pengaruh yang dimilikinya. Apakah pemimpin yang masih memiliki ketakutan terhadap turunnya jabatan, akan mampu memimpin rakyatnya/bawahannya, dan apakah rakyat/bawahan mau dipimpin oleh seorang penakut seperti itu ?.
Meningkatnya jumlah kemiskinan, kebijakan pemimpin yang lebih mengutamakan kepentingan diluar kesejahteraan rakyatnya, merupakan bentuk kegagalan demokrasi modern, contoh riil yang dihadapi yaitu meningkatnya harga pangan, meningkatnya harga minyak, merupakan bukti kegagalan produk pemikiran demokrasi modern.
Sehingga patutlah Plato dan Aristoteles kebingungan dengan teori ini, yang tidak lagi berstandar kan kesejahteraan rakyat tetapi standar untuk kesejahteraan penguasa dan pemilik modal (kapital). Mungkin jika John Locke dan Montesquieu masih hidup dia akan berpikir seribu kali untuk memperkenalkan sistem demokrasi ini, dan tidak menutup kemungkinan dia akan memperkenalkan sistem Islam yang tidak ada dua dibandingkan dengan demokrasi.
Menerapkan model kepemimpinan Muhammad (Islami) dalam berorganisasi dan bernegara, merupakan pilihan rasional dan ilmiah, sebab kelemahan dari model ini hanya disebutkan oleh orang-orang yang tidak menghendaki kebenaran dan kesejahteraan manusia tegak dimuka bumi ini.
“Ditinjau dari akar kelahirannya, islam jelas beda dengan demokrasi. Sistem Islam tidak lahir dari akal-akalan manusia, tapi merupakan Wahyu dari Allah SWT.
“Pungli Berkedok Pendidikan”
(wongcilik dilarang pintar)

Indonesia yang rata-rata berpenduduk rakyat yang perekonomiannya dibawah garis kemiskinan “wongcilik”, tiba-tiba harus dikejutkan dengan UU yang akan mencegah anak-anak mereka untuk bisa menikmati pendidikan dengan murah.
Pendidikan akan dikomersilkan. Masa depan bangsa ini tergantung pada pendidikan yang ada di dalam negaranya, makin baik pendidikan yang diberikan maka negara akan semakin prioritas untuk mencapai tujuan negaranya. Kalau pendidikan yang diberikan suatu negara kepada pendudukanya kurang baik maka prioritas negara untuk mencapai tujuannya juga akan semakin minim.
Suatu negara akan dikatakan berhasil di dalam dunia pendidikan jika mampu menghasilkan jutaan orang-orang terpelajar setiap tahunnya, lalu bagaimana semua itu akan bisa dicapai kalau pendidikan di dalam negerinya mahal?
Dengan disahkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) pada tanggal 17 Desember 2008 lalu yang sering diselewengkan mahasiswa dengan kalimat Badan Hutang Pendidikan. Bisa dikatakan sebagai bumerang bagi peserta didik, bagaimana bisa pendidikan yang dikomersilkan mampu memberikan pendidikan yang murah kepada peserta didik. Kalau kita lihat sekarang perguruan tinggi negeri maupun perguruan tinggi swasta berlomba-lomba untuk meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan mereka, tetapi yang menjadi korban dari ambisi perguruan tinggi tersebut adalah mahasiswa. Mahasiswa harus membayar uang pakal, uang buku, dan sejumlah dana lainnya yang bisa digolongkan sebagai iuran yang harus dibayar mahasiswa kepada pihak perguruan tinggi dengan biaya yang relatif sangat mahal.
Pada dasarnya upaya perguruan tinggi atau perguruan menengah dan sejenisnya untuk berlomba-lomba membangun sarana dan prasarana pendidikannya bukan merupakan suatu hal yang buruk, tetapi harus perlu dipertimbangkan kalau yang akan menjadi korban adalah peserta didik. Seharusnya upaya untuk mencari dana di dalam pembiayaan pembangunan sekolah atau perguruan tinggi itu bisa dengan mempatenkan penemuan-penemuan yang dilakukan oleh mahasiswa atau dari pihak pendidik untuk kemajuan dunia pendidikan atau mengembangkan minat dan bakat siswa atau mahasiswa sehingga membuat banyak lembaga-lembaga yang tertarik, semisal mahasiswa otomotif yang senang merancang berbagai bentuk kendaraan maka seharusnya pihak sekolah atau pihak kampus bisa menangkap hal ini dan langsung mempromosikan nya kepada pihak-pihak yang bisa mengekspos hobi dan minat peserta didik tersebut, atau bisa juga bekerja sama dengan lembaga pendidikan lain yang mempunyai kemampuan untuk mengembangkan dunia pendidikan sebagai lahan pembiayaan pendidikan, sehingga siswa dan mahasiswa tidak perlu dibebankan dengan biaya pendidikan yang begitu mahal dan menakutkan bagi rakyat yang tidak mampu.
Pendidikan merupakan kewajiban bagai setiap warga negara yang harus diselesaikan minimal 9 tahun, lalu bagaimana hal itu bisa terjadi kalau biaya pendidikan begitu mahal.
Keputusan pemerintah untuk memberlakukan UU BHP, bisa dianggap suatu keputusan yang tidak realistis dilakukan pada saat perekonomian Indonesia yang carut-marut.
Ini merupakan catur politik di Indonesia, dunia pendidikan sekali lagi ingin digunakan sebagai lahan mencari uang, bukan diupayakan untuk mencerdaskan anak bangsa yang kian terpuruk ini. Sungguh tidak adil jika MK tidak mencabut UU BHP, dan lebih tidak bijak jika pihak perguruan tinggi negeri atau swasta dengan leluasa menerima UU BHP dengan begitu tanpa ada pertimbangan yang begitu matang. Seharusnya pihak-pihak kampus harus bisa mencari jalan tengah untuk menyelesaikan problem perguruannya dan tidak serta merta mengorbankan siswa dan mahasiswa.
Kalau pendidikan bisa murah kenapa harus mahal, dengan bijaklah seharusnya lembaga-lembaga pendidikan mencari pendanaan untuk pembiayaan perguruannya sehingga tidak mengambil keputusan yang keliru, yang bisa mempersempit lembaga-lembaga pendidikan formal yang diprioritaskan untuk anak bangsa tanpa terkecuali, karena merupakan kewajiban bagi mereka untuk menuntaskan pendidikan minimal 9 tahun.