Selasa, 23 Desember 2008

“Pungli Berkedok Pendidikan”
(wongcilik dilarang pintar)

Indonesia yang rata-rata berpenduduk rakyat yang perekonomiannya dibawah garis kemiskinan “wongcilik”, tiba-tiba harus dikejutkan dengan UU yang akan mencegah anak-anak mereka untuk bisa menikmati pendidikan dengan murah.
Pendidikan akan dikomersilkan. Masa depan bangsa ini tergantung pada pendidikan yang ada di dalam negaranya, makin baik pendidikan yang diberikan maka negara akan semakin prioritas untuk mencapai tujuan negaranya. Kalau pendidikan yang diberikan suatu negara kepada pendudukanya kurang baik maka prioritas negara untuk mencapai tujuannya juga akan semakin minim.
Suatu negara akan dikatakan berhasil di dalam dunia pendidikan jika mampu menghasilkan jutaan orang-orang terpelajar setiap tahunnya, lalu bagaimana semua itu akan bisa dicapai kalau pendidikan di dalam negerinya mahal?
Dengan disahkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) pada tanggal 17 Desember 2008 lalu yang sering diselewengkan mahasiswa dengan kalimat Badan Hutang Pendidikan. Bisa dikatakan sebagai bumerang bagi peserta didik, bagaimana bisa pendidikan yang dikomersilkan mampu memberikan pendidikan yang murah kepada peserta didik. Kalau kita lihat sekarang perguruan tinggi negeri maupun perguruan tinggi swasta berlomba-lomba untuk meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan mereka, tetapi yang menjadi korban dari ambisi perguruan tinggi tersebut adalah mahasiswa. Mahasiswa harus membayar uang pakal, uang buku, dan sejumlah dana lainnya yang bisa digolongkan sebagai iuran yang harus dibayar mahasiswa kepada pihak perguruan tinggi dengan biaya yang relatif sangat mahal.
Pada dasarnya upaya perguruan tinggi atau perguruan menengah dan sejenisnya untuk berlomba-lomba membangun sarana dan prasarana pendidikannya bukan merupakan suatu hal yang buruk, tetapi harus perlu dipertimbangkan kalau yang akan menjadi korban adalah peserta didik. Seharusnya upaya untuk mencari dana di dalam pembiayaan pembangunan sekolah atau perguruan tinggi itu bisa dengan mempatenkan penemuan-penemuan yang dilakukan oleh mahasiswa atau dari pihak pendidik untuk kemajuan dunia pendidikan atau mengembangkan minat dan bakat siswa atau mahasiswa sehingga membuat banyak lembaga-lembaga yang tertarik, semisal mahasiswa otomotif yang senang merancang berbagai bentuk kendaraan maka seharusnya pihak sekolah atau pihak kampus bisa menangkap hal ini dan langsung mempromosikan nya kepada pihak-pihak yang bisa mengekspos hobi dan minat peserta didik tersebut, atau bisa juga bekerja sama dengan lembaga pendidikan lain yang mempunyai kemampuan untuk mengembangkan dunia pendidikan sebagai lahan pembiayaan pendidikan, sehingga siswa dan mahasiswa tidak perlu dibebankan dengan biaya pendidikan yang begitu mahal dan menakutkan bagi rakyat yang tidak mampu.
Pendidikan merupakan kewajiban bagai setiap warga negara yang harus diselesaikan minimal 9 tahun, lalu bagaimana hal itu bisa terjadi kalau biaya pendidikan begitu mahal.
Keputusan pemerintah untuk memberlakukan UU BHP, bisa dianggap suatu keputusan yang tidak realistis dilakukan pada saat perekonomian Indonesia yang carut-marut.
Ini merupakan catur politik di Indonesia, dunia pendidikan sekali lagi ingin digunakan sebagai lahan mencari uang, bukan diupayakan untuk mencerdaskan anak bangsa yang kian terpuruk ini. Sungguh tidak adil jika MK tidak mencabut UU BHP, dan lebih tidak bijak jika pihak perguruan tinggi negeri atau swasta dengan leluasa menerima UU BHP dengan begitu tanpa ada pertimbangan yang begitu matang. Seharusnya pihak-pihak kampus harus bisa mencari jalan tengah untuk menyelesaikan problem perguruannya dan tidak serta merta mengorbankan siswa dan mahasiswa.
Kalau pendidikan bisa murah kenapa harus mahal, dengan bijaklah seharusnya lembaga-lembaga pendidikan mencari pendanaan untuk pembiayaan perguruannya sehingga tidak mengambil keputusan yang keliru, yang bisa mempersempit lembaga-lembaga pendidikan formal yang diprioritaskan untuk anak bangsa tanpa terkecuali, karena merupakan kewajiban bagi mereka untuk menuntaskan pendidikan minimal 9 tahun.

Tidak ada komentar: