Selasa, 21 Oktober 2008

Indonesia, Negeri yang Selalu Kalah

Indonesia, Negeri Yang Selalu Kalah

Demokrasi, Reformasi, Globalisasi, Swastanisasi, Privatisasi selalu saja dikaitkan dengan masalah bangsa ini, padahal tidak ada kaitannya sama sekali antara demokrasi dengan kemiskinan, globalisasi dan lain sebagainya. Yang menjadi titik pangkal dari masalah bangsa ini bukanlah karena bangsa ini tidak demokrasi dan lain sebagainya, padahal justru sebaliknya demokrasi lah yang membuka lubang persoalan bangsa ini.
Masalah utama negeri utopia ini bukanlah karena tidak diterapkannya sistem demokrasi dan reformasi atau tidak adanya globalisasi serta tidak ada swastanisasi, hal-hal yang disebut di atas sebenarnya bukan masalah terpenting, justru dengan adanya sistem-sistem sekuler di ataslah bangsa ini menjadi bangsa yang tertinggal, menjadi bangsa yang kerdil yang hanya bisa menghamba kepada barat. Sehingga bangsa ini menjadi negara yang ter korup sedunia. Dengan korupsi yang memakan sampai 30% dari anggaran total negara (apakah ini termasuk semua "markup biaya" dan gaji-gaji pegawai negeri yang tidak-produktif), dan alokasi anggaran negara untuk pendidikan yang kurang dari….?
Di negara kaya, seperti Indonesia, pendidikan sampai tamat sekolah menengah seharusnya gratis (biayanya dari pemerintah). Pendidikan adalah hal yang paling penting di negara yang sedang berkembang. Kalau sumber alam di kelola dengan baik, dan dengan tanah yang subur di mana-mana, seharusnya negara ini termasuk yang paling kaya di Asia Tenggara. Tetapi kalau kita melihat hal pendidikan, masyarakat terus meminta beasiswa dan biaya pendidikan seperti pengemis di pinggir jalan.
Pada waktu tahun 70an sampai 80an keadaan pendidikan di Indonesia dan Malaysia tidak begitu berbeda dan beberapa guru dari Indonesia dibawa ke Malaysia untuk membantu. Sekarang pendidikan di Malaysia termasuk yang paling baik di dunia, tetapi Indonesia tidak maju dan sekarang biaya pendidikan yang bermutu rendah saja sudah mulai menjadi di luar jangkauan kebanyakan masyarakat di Indonesia. Ditambah lagi mutu pendidikan sangat tertinggal, di negara-negara ASEAN saja mutu pendidikan Indonesia sudah jauh tertinggal bahkan berada di urutan terakhir setelah Vietnam, padahal kalau kita lihat Vietnam hanyalah sebuah negara kecil yang baru merdeka jauh sebelum Indonesia merdeka. Tetapi justru negara yang sempat dikatakan sebagai macan Asia ini menjadi negara yang miskin, bahkan Husian Matla dalam bukunya Antara Ekonomi Budak dan Ekonomi Orang Merdeka mengibaratkan bangsa Indonesia sebagai negara yang miskin yang membiayai negara yang jompo.
Hal itulah yang terjadi sekarang, kekayaan alam bangsa ini terus saja dirampok oleh bangsa asing dengan sangat leluasa nya, penguasa kita hanya berdiam diri dan bahkan membiarkan Ibu Pertiwi ini di Perkosa oleh bangsa asing (dicuri sumber daya alamnya). Dan yang lebih aneh lagi munculnya undang-undang yang seakan-akan membantu asing untuk merampok kekayaan alam ini seperti undang-undang Penanaman Modal, undang-undang Migas, undang-undang sumber daya alam, undang-undang Kelistrikan dan lain sebagainya, serta memprivatisasi BUMN.
Kita dapat membahas soal-soal yang lain tetapi kita tidak dapat berharap akan ada kemajuan yang signifikan sampai pendidikan mendapat alokasi paling sedikit 25% dari anggaran negara.
Penderitaan rakyat ini sudah cukup banyak mulai dari masalah kelaparan sampai masalah tidak adanya jaminan kesejahteraan (pendidikan mahal, biaya kesehatan yang mahal, bahan pokok mahal serta keamanan yang seakan-akan hanya milik orang yang kaya dan konglomerat saja). Negara ini seperti negara yang tak ber penghuni, setiap saat dirampok asing tetapi sepertinya tidak ada tanggapan dari penduduk bangsa ini.
Kenyataan yang ironis, kaum miskin tetaplah miskin, pendidikan tetaplah hanya untuk orang-orang yang kaya, kaum miskin cukuplah hanya isapan jempol. Akses kesehatan hanya dinikmati orang kaya. Dan orang miskin selalu "dilarang sekolah" dan "dilarang sakit".
Sampai kapan semua ini akan berakhir? Yang lain sudah maju sedangkan kita bukannya berjalan di tempat tetapi malah jalan mundur, demokrasi dan reformasi yang dijanjikan hanya kebohongan belaka, sampai saat ini sudah 10 tahun reformasi, negara ini bukannya berjalan maju tetapi malah berjalan mundur. Yang dulunya mengekspor beras ke negara Vietnam kini justru malah mengimpor beras dari negara Vietnam. Apakah Kerajaan Majapahit yang dulu pernah menjadi swasembada beras kini setelah menjadi negara Indonesia telah hilang kesuburannya, dan apakah Sam yang dulu tandus kini setelah menjadi negara Vietnam menjadi subur.
Hingga saat ini krisis di segala segi masih mencengkram negeri kita. Ia seolah penyakit kronis yang sukar disembuhkan sehingga sempat membuat negeri ini “koma”. Salah satunya yaitu krisis ekonomi moneter.
Di tengah situasi perekonomian yang kontemporer saat ini, angka kejahatan semakin meningkat, sebagai salah satu dampak negatif dari krisis ekonomi. Ironisnya lagi, seiring dengan krisis ekonomi tersebut, krisis moral pun juga ikut merajalela. Bahkan banyak orang yang tega yang menghilangkan nyawa saudaranya hanya karena sesuap nasi. Realita ini tidak bisa kita pungkiri.
10 tahun sudah kebohongan reformasi telah menyelimuti kita semua, serta telah berpuluh-puluh tahun sudah demokrasi telah membuka lebar lubang penderitaan rakyat bangsa ini. Tidakkah kita mencoba menengok sistem yang dulu pernah berjaya berabad-abad, yang telah terbukti menghasilkan ilmuan-ilmuan handal seperti Ibnu Sina dan lain-lain. Yang telah mampu mensejahterakan 2 per 3 bagian bumi ini, dan yang telah melerai peperangan di muka bumi.
Hanya dengan menerapkan aturan Islamlah bangsa ini akan berjaya, tanpa itu semua negara ini akan selalu menjadi bahan olok-olokan bangsa di dunia. Dan berjuta-juta rakyatnya akan selalu menjadi penghamba. Sudah saatnyalah kita semua meninggalkan kebohongan ini, yang terus saja telah menghisap darah serta menggerogoti kulit-kulit rakyat bangsa ini. Setiap undang-undang yang dibuat oleh penguasa selalu saja tidak berpihak kepada rakyat tetapi justru berpihak kepada penguasa dan pengusaha.

Revolusi Mahasiswa Di Era Reformasi

REVOLUSI MAHASISWA DI ERA REFORMASI
Munculnya opini saat nya yang muda yang memimpin di akhir-akhir ini telah membuat mahasiswa banyak yang terlena akan janji-janji palsu itu. Selegon-selogan itu sering kali dikeluarkan oleh elit politik (parpol) untuk menarik minat mahasiswa. Sehingga mahasiswa pun larut dalam janji-janji itu.
Benarkah yang muda yang harus memimpin? Siapapun yang menjadi pemimpin negeri ini tidak akan pernah membawa perubahan yang lebih baik, walaupun yang muda sekalipun karena persoalan bangsa ini bukan persoalan personil tetapi sistem yang mengatur roda pemerintahan ini. Sistem kapitalis sekuler yang dengan ganas telah merusak tatanan kehidupan bangsa ini sehingga rakyat nya sudah tak mampu lagi berpikir tentang hidup, alam semesta dan manusia, serta hubungan ketiganya dengan sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia dan yang ada sesudahnya. Kalau manusia ingin bangkit maka harus ada perubahan mendasar dan menyeluruh terhadap pemikiran manusia dewasa ini untuk diganti dengan pemikiran lain yakni Islam sebagai ‘mabda’ idiologi.
Hingga saat ini krisis di segala segi masih mencengkram negeri kita. Ia seolah penyakit kronis yang sukar disembuhkan sehingga sempat membuat negeri ini “koma”. Salah satunya yaitu krisis ekonomi moneter yang dalam bahasa ngetrennya biasa kita sebut “krismon”.
Di tengah situasi perekonomian yang kontemporer saat ini, angka kejahatan semakin meningkat, sebagai salah satu dampak negatif dari krisis ekonomi. Ironisnya lagi, seiring dengan krisis ekonomi tersebut, krisis moral juga ikut merajalela. Bahkan banyak orang yang tega yang menghilangkan nyawa saudaranya hanya karena sesuap nasi. Realita ini tidak bisa kita pungkiri.
Lalu siapa yang akan membawa perubahan itu? Perubahan yang lebih baik untuk bangsa kita tercinta ini, apakah yang muda ataukah mahasiswa?
Mahasiswa UI rela mati saat menentang kenaikkan harga BBM, mahasiswa Trisakti, Semanggi 1, Semanggi 2, dan sejuta mahasiswa lainnya yang telah rela mengorbankan segalanya demi membela rakyat. Lalu mana yang muda?
Suara siapa yang masih bergema diantara hujan deras, di panasnya terik matahari, suara siapa yang masih bergema diantara sempitnya jalan perkotaan, suara siapa yang bergema ketika semau orang terluka, ketika semua orang sudah tidak mementingkan sanak saudaranya. Mahasiswalah yang telah menjadi pelopor perubahan itu. Kinilah saatnya mahasiswa berevolusi untuk memimpin perubahan ini bukan yang muda, kalimat yang muda hanya kalimat yang meracuni ribuan dan bahkan jutaan mahasiswa di Indonesia, kalimat yang hanya membubuhkan janji-janji palsu untuk mencari dukungan di kalangan mahasiswa.
Saatnyalah mahasiswa yang memimpin negeri ini, tingkat pendidikan bukan suatu jaminan untuk membawa bangsa ini lebih maju, presiden kedua kita saja hanya lulusan SD saja tetapi mampu memimpin negeri ini selama kurang lebih 35 tahun.
Kontribusi yang diberikan para pemimpin kita saat ini untuk bangsa selain meninggalkan luka bagi rakyat yang selama 63 tahun masih dalam keadaan terjajah. Belanda telah berakhir, Jepang pun memang telah berakhir tetapi IMF, BANK Dunia dan sederet lembaga luar negeri lainnya yang telah menjajah anak bangsa ini.
Negeri yang kaya raya seharusnya menjadikan anak bangsa ini cerdas, rakyatnya sejahtera, pembangunan dimana-mana, keadilan, kesehatan, dan keamanan setiap orang terjamin tanpa memandang status, harkat dan martabatnya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya anak bangsa ini terancam kebodohan dan kemiskinan, ditambah lagi sederet penderitaan yang lain seperti kesehatan rakyat miskin yang tergadai kan seakan-akan yang miskin dilarang sakit. Orang miskin seperti tidak layak hidup dimuka bumi ini, pendidikan, kesehatan, keamanan dan kesejahteraan mereka seperti tidak berarti dimana pemerintah. Mana tanggung jawab mereka terhadap rakyat?
Pemilu 2009 tidak lebih hanya melahirkan pemimpin-pemimpin yang korup penghisap darah rakyat. Sejuta fenomena telah terjadi, tinggal menunggu siapa yang akan menjadi agent of change itu.
Kapitalis sekuler telah meracuni kehidupan bangsa ini ditambah lagi kebohongan para penguasa kita yang telah menjadikan rakyat semakin terjajah. Apakah kita semua akan tetap bertahan dalam keadaan seperti ataukah kita akan beranjak dari lumpur penderitaan ini, hanya ada satu pilihan yakni Islam, dan mahasiswa sebagai pelopor nya, sebagai penggerak perubahan ini.

Mencari Pemimpin Sejati

Mencari Pemimpin Sejati

Benarkah pemilu 2009 akan menghasilkan pemimpin sejati?? Dunia ini sempit untuk mencari pemimpin-pemimpin sejati, pemimpin yang rela menjadi pelayan bagi rakyatnya, pemimpin yang telah merelakan semua harta dan nyawanya demi kesejahteraan rakyatnya.
Indonesia saat ini bukan hanya mengalami krisis ekonomi tetapi juga mengalami krisis pemimpin. Indonesia sudah 63 tahun merdeka tapi keadaan rakyatnya sama sekali tidak terlihat tanda-tanda orang merdeka. Pembangunan memang tersebar dimana-mana, gedung-gedung bertingkat pun hampir selalu menghiasi kota-kota besar di Indonesia, proyek-proyek atas nama pembangunan dan demi kesejahteraan rakyat pun di gelar dimana-mana. Tapi di bawah gedung pencakar langit itu dibawah gedung-gedung bertingkat ada jutaan rakyat Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada sampah.
Negeri ini pun tidak salah jika disebut sebagai negeri pemulung, karena hampir di setiap pulau di negeri ini mempunyai puluhan bahkan ratusan pemulung.
Di Kalsel tidak usah ditanya lagi entah berapa banyak pengaih rezeki dengan bergulat di lumpur sampah. Tapi entah kenapa, semua itu seakan-akan sudah menjadi takdir mereka yang sudah tidak bisa dirubah lagi, bahkan yang paling unik lagi, ini sudah menjadi pekerjaan turunan yang tidak bisa dihentikan.
Jangankan pemimpin negeri (President) ini pemimpin Kalsel ini pun sepertinya hidup tak bernyawa, mereka seakan-akan mati rasa. Tidak bisa melihat penderitaan rakyat Kalsel yang setiap hari harus menghirup debu-debu batu bara.
Dan yang paling mengherankan Kalsel yang dikatakan sebagai kota Ibadah ini pun pada bulan Ramadhan masih membolehkan (dilegalkannya) tempat-tempat Hiburan Malam. Pada hal Kalsel mayoritas Islam tapi kenyataannya itulah yang terjadi.
Sepertinya pemimpin di negeri ini hanya akan bekerja jika di bayar, bahkan ada yang sudah di bayar tapi tidak bekerja. Tidak sedikit seperti ini mulai dari Birokratnya hingga yang paling bawah sekalipun, bahkan tidak jarang ada Guru bahkan Dosen yang tidak mengajar. Padahal mereka hidupnya dibiayai oleh pemulung, buruh, petani dan rakyat miskin lainnya. Tidak malukah mereka telah memakan uang yang bukan hak mereka, padahal anak-anak rakyat kecil ini hidup dalam derita bahkan tidak sedikit diantara mereka yang tidak mendapatkan pendidikan yang layak, bahkan banyak anak-anak mereka yang hanya bisa meneruskan pekerjaan ayahnya sebagai pencari barang-barang bekas dan lain-lainnya. Tetapi justru anak-anak Birokrat pemerintahan, Dosen, Aparat Keamanan, dan mereka yang di gaji oleh buruh malah menghambur-hamburkan uang mereka demi membelikan anak-anak mereka mobil, kendaraan, baju bagus, bahkan memakan-makanan yang mewah, minimal tercukupi gizinya, tapi tidak kah mereka melihat orang-orang yang membiayai mereka hidup, hanya hidup pas-pasan, pas hujan mereka basah, pas musim banjir mereka kebanjiran, pas digusur mereka kebingungan.
Lalu apakah ada pemimpin yang seperti Umar, Abu Bakar, Ustman, Ali. Disaat anak Umar minta belikan baju kepada nya, apakah Umar memberinya, apakah ketika anak Abu Bakar pesta minuman keras Abu Bakar tidak menghukumnya? Lalu apakah ada di negeri ini seorang pemimpin yang sanggup membunuh anak kesayangannya yang berpesta minuman keras demi tegaknya hukum di negerinya. Jangankan pemimpinnya penegak hukumnya pun tidak sanggup berbuat seperti apa yang telah dilakukan Abu Bakar terhadap anaknya. Lalu di mana seorang pemimpin menggendong sekarung gandum demi rakyatnya. Jangankan untuk menggendong sekarung gandum untuk berjalan saja SBY harus membawa puluhan pengawal, pada hal dia berkunjung di tempat rakyatnya sendiri.
Pemimpin sejati hanya akan ada dalam Islam, hanya dengan menerapkan Islam secara Kaffahlah pemimpin-pemimpin seperti itu akan ditemukan, sedangkan 2009 hanya akan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang Koruptor dan Diktator.
Sudah saatnyalah kita semua terbebas dari ke Diktatoran ini, saatnya bangkit untuk mandiri, dan bersama-sama menerapkan Syariat Islam demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Karena pemilu sepertinya tidak mampu menghasilkan pemimpin-pemimpin unggul yang amanah untuk memimpin negeri ini, fakta telah bicara pemilu bukan hanya sekali saja di gelar di negeri ini tapi sudah beberapa kali dan hasilnya rakyat kecillah yang menderita. Mereka berlomba-lomba untuk maju ke kursi pemerintahan bukan untuk mengangkat derajat rakyat yang tertindas tetapi untuk mensejahterakan mereka dan partainya.

Menjadi Indonesia Yang Lebih Baik

MENJADI INDONESIA YANG LEBIH BAIK
Sepertinya semua teori yang telah diajarkan oleh Marshal dan kawan-kawannya dalam ekonomi modern tidak berlaku lagi, ekonomi Barat yang berbasis pada riba banyak menggunakan konsep ekonomi klasik warisan Adam Smith yang sangat menekan bunga. Dalam pandangan ini, agar uang yang ditabung penduduk mengalir ke para pengusaha dan pedagang yang membutuhkan modal untuk bisnisnya maka harus ada bank. Bank adalah jembatan untuk menabung dan pebisnis. Kesuksesan negara tergantung pada keseimbangan aliran ini. Dan untuk menjaga keseimbangan ini, sepenuhnya tergantung pada satu hal: bunga.
Hanya saja, kalau kebijakan ini kebablasan, maka akan menimbulkan ketidak seimbangan lain. Saat ekonomi sudah pulih tapi suku bunga masih tetap tinggi, maka akan banyak perusahaan yang gulung tikar dan terjadi banyak PHK sehingga banyak pengangguran. Kondisi ini akan membuat lesu perekonomian karena rakyat daya belinya rendah. Terjadi penyimpangan: dari “normal” menuju “terlalu kering”.
Fakta bahwa manusia punya keterbatasan juga menjadi bukti bahwa: hukum kestabilan supply-demand dan adanya “tangan gaib” (the invisible hand) serta hukum Say supply creates its own demand (penawaran menciptakan permintaan terhadapnya secara otomatis) – bertentangan dengan kenyataan hidup manusia.
Kesimpulannya, hasil dari ekonomi ribawi ini adalah: 1. Krisis sosial. 2. Kesenjangan sosial. Sedangkan bentuk negara yang dihasilkan: Negara Perusahaan. Bentuk pemerintahannya: Diktator Perusahaan Besar. Kepala negaranya: Konglomerat. Peran negara yang hanya sebagai wasit semakin mengukuhkan “kediktatoran” ini.
Bila riba dilarang, di satu sisi langsung ratusan triliun dari APBN bisa di hemat, jadi pemerintah tidak perlu menaikkan harga BBM lagi. Maka oleh sebab itu perlu adanya konsep ekonomi yang jelas dan menyeluruh yakni syariah. Kebijakan ekonomi syariah, dengan asas ekonomi bertumpu pada distribusi, bukan semata-mata pertumbuhan, baru dapat diterapkan kalau memang ada keberanian yang rasional untuk itu. Harus diingat, bahwa satu saja kebijakan makro ekonomi syariah diterapkan, dampaknya akan luas. Bukan hanya pemulihan perekonomian tetapi juga pemerataan.
Jika Indonesia ingin berubah maka yang perlu dirubah dulu adalah mental terjajah menjadi mental mandiri yang paling kuat adalah dengan memberikan pemahaman yang ideologis. Bagi umat Islam, pendekatan ideologis ini berarti akidah Islam dan qiyadah fikriyyah (kepemimpinan ideologis) Islam.
Ketika Islam dijadikan asas berpikir dan tolak ukur perilaku, maka otomatis akan muncul jiwa-jiwa yang mandiri, yang pada gilirannya akan melakukan introspeksi: masihkah ada pada dirinya anasir terjajah yang ada pada dirinya.
Jika kita melihat India dan Cina telah berhasil meraih kemandiriannya. Mereka bahkan telah berhasil menguasai teknologi nuklir dan teknologi antariksa secara mandiri, tanpa utang luar negeri! Jadi, jangan ditanya apakah mereka mampu membuat industri mobil atau swasembada pangan.
Lalu apakah kita sebagai bangsa Indonesia hanya akan berpangku tangan dan menunggu bantuan dana asing, setelah itu rakyatnya beribu-ribu antri untuk mendapatkan uang sebesar Rp 30.000,00 bahkan demi uang sebesar itu mereka rela merenggang nyawa. Tapi pemerintah di negeri ini hanya diam saja. Lebih dari berjuta-juta orang di negeri ini berada di dalam garis kemiskinan, padahal sumber daya alam kita melimpah ruah tapi yang memungut hasilnya adalah asing. Apakah pemimpin di negeri tidak malu di mata dunia, negara kecil saja seperti Singapura mampu hidup mewah, tapi kenapa bangsa yang mempunyai menteri perekonomian, menteri perdagangan, menteri keuangan, menteri ESDM, menteri sumber daya alam dan puluhan menteri lainnya hanya mampu untuk melangsungkan hidup bukan merubah kehidupan. Sepertinya pemerintahan di negeri ini hanya sebagai sebuah simbol saja tanpa ada perubahan yang dilakukannya. Adanya menteri bukan untuk mensejahterakan rakyatnya tetapi hanya sebagai pelengkap bagi sebuah berdirinya negara.
Indonesia, dengan segala potensi ekonominya, sesungguhnya bisa mandiri, asal mau menerapkan kebijakan ekonomi syariah, bukan yang lain. Hanya dengan syariah Islamlah Indonesia akan benar-benar mandiri, tanpa itu semua Indonesia hanya akan menjadi negeri penghamba dan pengemis di mata dunia. Wallahu a’alam bi ash-shawab

Penjajahan Yang Tidak Pernah Berakhir

Penjajahan Yang Tak Pernah Berakhir
Allah yang Maha Pemurah telah berkenaan memberikan sebuah Indonesia yang gemah ripah loh jinawi. Namun, kini sebutan itu tak berlaku lagi. Indonesia yang dulunya kaya-raya telah berubah menjadi miskin. Kemiskinan ini terjadi dimana-mana. BANK Dunia menyebut angka lebih dari 100 juta orang Indonesia miskin. Bahkan untuk mencukupi kebutuhan pokokpun kita harus mengimpor dari luar negeri. Dengan iklim tropis yang sangat menguntungkan, dan yang lebih penting lagi, telah dianugerahkannya lebih dari 90% jumlah penduduk muslim. Akan tetapi, ke mana hilangnya berkah dari Dienul Islam yang rahmatan lil ‘alamin itu?
Indonesia termasuk Negara yang mengalami kesulitan perekonomian akibat program utang luar negeri arahan IMF dan BANK Dunia yang mencapai 142 miliyar dolar AS melonjak dari 53 miliyar dolar AS tahun 1997. Sebelum krisis (Mei 1997), bahkan saat rakyat menghadapi krisis ekonomi pada pertengahan 1997, Pemerintah justru mengucurkan dana yang sangat besar kepada para konglomerat. Pemerintah melalui Dewan Moneter memutuskan agar Bank Indonesia membantu likuiditas bank-bank yang kolaps karena krisis tersebut. Dikucurkanlah dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 144,5 triliun, ditambah Rp 14,447 triliun per 29 Januari 1999, sehingga totalnya menjadi Rp 158,9 triliun. Jumlah ini luar biasa besar sehingga negara harus meminta rakyat untuk memikul masalah bank-bank itu, hingga kini rakyat Indonesia masih diselimuti kemiskinan bahkan 14,8-15 persen angka kemiskinan Indonesia dengan jumlah pengangguran 95.995 orang lebih.
Mantan Menteri Keuangan era Orde baru Fuad Bawazier mengatakan, 40 tahun lalu pendapatan perkapita penduduk Indonesia setara dengan negara-negara seperti Korea Selatan, Malaysia, Thailand, bahkan Cina. Malah Indonesia memiliki kelebihan dalam hal sumberdaya alam. Kini negara-negara yang miskin kekayaan alam itu sudah jauh meninggalkan Indonesia. “Padahal kita lebih semuanya dari mereka. Jadi, kalau mereka semua mampu dalam kondisi yang baik maka seharusnya kita pun bisa.
Indikasi bangkrutnya negeri ini mulai terlihat dari defisit APBN 2001 yang mencapai Rp 80 trilyun dan jatuh tempo utang luar negeri sebesar 2,8 milyar dolar AS Mei 2001. Sementara itu, pemerintah benar-benar tidak punya uang dan langkah penyelamatan digelar mulai dari ekstensifikasi pajak, penjualan aset yang ditahan BPPN hingga ke pencabutan subsidi BBM yang semua itu menyebabkan rakyat bertambah sengsara.
Akhirnya, utang pun dibayar dengan cara meminjam lagi sehingga kita terjerat utang, sedangkan aliran dana yang menuju negara kapitalis semakin besar dan negara pengutang terjerat dalam proses pemiskinan terencana dan sistematis sehingga mereka dapat mengeruk sumber daya alam kita sebesar-besarnya.
Utang luar negeri hakikatnya adalah penjajahan Barat yang dimodernisasi yang menghisap tenaga dan sumber daya alam kita yang kaya raya. Krisis utang ini membawa keruntuhan sistem ekonomi kita, kekacauan politik, kebobrokan moral budaya masyarakat karena pemerintah ditekan dan didikte pihak luar. Pencairan utang luar negeri selalu dikaitkan dengan perkara-perkara yang tidak ada hubungannya dengan ekonomi, seperti HAM, Demokrasi, Liberalisasi, dan sejenisnya yang merusak akidah dan akhlak di Negeri ini.
Politik ekonomi yang dijalankan Barat untuk mendominasi kita merupakan ciri sistem ekonomi kapitalis berupa penjajahan dan eksploitasi karena mereka tidak mampu bertahan hidup tanpa penjajahan ekonomi ini. Imperialisme Barat terhadap negara-negara dunia ketiga ini semakin kuat dengan dilegalisasikannya peraturan ekonomi dan perdagangan internasional yang dirancang mereka.
Jelaslah kita kaum muslimin harus kembali ke sistem ekonomi Islam dengan menghilangkan ketergantungan terhadap uang dana luar negeri dengan cara membayar utang kita tanpa bunga karena bunga jelaslah haram hukumnya setelah itu memutuskan hubungan dengan IMF, BANK Dunia dan lembaga internasional lainnya yang menghisap negara ini, serta membuang jauh para Komprador (Mafia Berkeley) asing di Pemerintahan ini yang telah menghisap darah kita
Setelah itu, mengembalikan seluruh sistem kehidupan termasuk ekonomi dengan Islam dan berjuang mencabut sistem kapitalis yang dipaksakan Barat di negeri ini. Tanpa itu semua kita tidak akan pernah bangkit, sampai kapanpun bangsa ini hanya menjadi bulan-bulan bangsa asing dan entah berapa banyak lagi para TKI dan TKW yang harus menjual harga dirinya di luar negeri demi menghidupi bangsa ini, dan entah berapa banyak lagi rakyat yang mati karena kelaparan.
Tiada jalan kecuali melakukan perubahan itu tanpa itu semua kita tidak akan mungkin, dan ini akan menjadi PR bagi kita semua untuk bersama-sama menjadi Agent Of Change itu, demi memajukan bangsa yang telah terjajah ini.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Penjajahan Lewat Dunia Pendidikan

Betapa mahalnya biaya pendidikan sekarang sehingga banyak anak bangsa ini yang tidak bisa mengenyam pendidikan. Semakin kapitalisnya dunia pendidikan sekarang seakan-akan orang yang miskin dilarang pintar.
Di sisi lain bangku-bangku sekolah ini hanya mampu menghasilkan sarjana dan para pelajar yang tidak mempunyai taraf berpikir yang tinggi, sehingga setiap melanjutkan sekolah ke perguruan yang tinggi harus selalu ada seleksi. Seleksi ini bertujuan bukan untuk melihat standar kompetensi siswa tetapi melihat kemampuan berpikir para siswa, hal ini terjadi karena ketidak percayaan perguruan tinggi terhadap sekolah yang meluluskan siswa tersebut, hal ini pun selalu terus berlanjut sampai ke perguruan di atasnya.
Mungkin yang menjadi titik pertanyaan kita ialah dimana tanggung jawab negara? Negara seakan-akan lepas tangan terhadap dunia pendidikan dan bahkan yang lebih parah lagi dunia pendidikan digunakan sebagai ladang untuk mencari uang, dan yang lebih eronis lagi guru yang seharusnya memberikan contoh yang baik malah menjadi penghisap darah siswa dengan melakukan pungutan liar (pungli) di kalangan siswa.
Pangkal dari semua ini adalah ideologi Kapitalis sekuler yang dengan ganas telah merusak seluruh tatanan hidup manusia, termasuk pendidikan. Sehingga menyebabkan pendidikan begitu sulit dijangkau masyarakat miskin. Pendidikan menjadi barang mahal yang hanya mampu dinikmati oleh segelintir orang. Akibatnya, generasi bangsa ini terancam kebodohan dan kemiskinan.
Di sisi lain, dalam pendidikan sekuler, agama dianggap hanya sebagai salah satu mata pelajaran, bukan dasar untuk semua ilmu yang dipelajari. Wajarlah jika generasi yang dihasilkan adalah generasi yang berkepribadian ganda dan berperilaku buruk. Gaya hidup hedonis dan permisif menjadi gaya hidup sebagian besar generasi muda kita saat ini.
Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan kegagalan pendidikan sekarang, di antaranya: Pertama, tujuan pendidikan yang tidak jelas. Seharusnya tujuan pendidikan adalah dalam rangka membentuk manusia yang memiliki kepribadian Islami, menguasai pemikiran Islam dengan matang, menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi/IPTEK), dan memiliki keterampilan yang tepat guna dan berdaya guna.
Kedua, kurikulum yang sekuler. Kurikulum seharusnya mengacu pada akidah Islam yang memiliki karakteristik dalam pembentukan kepribadian Islam serta penguasaan tsaqaafah Islam dan IPTEK.
Ketiaga, pendidikan yang kurang profesional dan kurangnya kompensasi bagi para pengajar. Seharusnya ada penyeleksian yang ketat dalam memilih guru. Untuk menunjang keprofesionalan, guru seharusnya diberikan pengayaan metodologi sekaligus jaminan kesejahteraan yang layak. Guru juga harus mempunyai keteladanan yang baik dan mempunyai akhlak yang mulia agar menjadi panutan.
Keempat, meteri pendidikan yang disajikan hanya sebatas teori yang tidak berpengaruh kepada siswa. Padahal pendidikan seharusnya berpegang pada prinsip bahwa ilmu adalah untuk diamalkan. Materi yang diberikan juga tidak boleh bertentangan dengan akidah Islam.
Kelima, kurangnya dana dan sarana. Biaya yang mahal mengakibatkan sebagian besar masyarakat tidak bisa menikmati pendidikan dan sarana yang tidak lengkap mengakibatkan pendidikan menjadi terhambat. Karena itu, masyarakat harus dibebaskan dari biaya pendidikan.
Semua hal di atas tidak mungkin akan terwujud tanpa ada peranan negara sebagai satu-satunya institusi yang bertanggung jawab dalam mencerdaskan umat.
Jelaslah kini, pendidikan sekuler terbukti telah gagal melahirkan generasi yang berkepribadian unggul. Tiba saatnya kini, kita mulai mengalihkan pandangan pada sistem pendidikan Islam yang sudah terbukti mampu melahirkan sosok-sosok tangguh dan salih. Pendidikan dalam Islam benar-benar diorientasikan untuk melahirkan generasi yang memiliki kepribadian Islam sekaligus menguasai tsaqafah Islam dan ilmu-ilmu kehidupan. Lebih dari itu, dalam Islam, pendidikan merupakan tanggung jawab negara sehingga seluruh warga negara berhak untuk menikmatinya.

artikel "Indonesia, Negeri yang Selalu Kalah"

teman-teman mari bergabung bersama saya
bersama-sama merumuskan Indonesia yang Merdeka

artikel "Indonesia, Negeri yang Selalu Kalah"

Ayo teman-teman bergabung di blog saya...
bersama-sama merumuskan kembali Indonesia yang Merdeka