Selasa, 21 Oktober 2008

Indonesia, Negeri yang Selalu Kalah

Indonesia, Negeri Yang Selalu Kalah

Demokrasi, Reformasi, Globalisasi, Swastanisasi, Privatisasi selalu saja dikaitkan dengan masalah bangsa ini, padahal tidak ada kaitannya sama sekali antara demokrasi dengan kemiskinan, globalisasi dan lain sebagainya. Yang menjadi titik pangkal dari masalah bangsa ini bukanlah karena bangsa ini tidak demokrasi dan lain sebagainya, padahal justru sebaliknya demokrasi lah yang membuka lubang persoalan bangsa ini.
Masalah utama negeri utopia ini bukanlah karena tidak diterapkannya sistem demokrasi dan reformasi atau tidak adanya globalisasi serta tidak ada swastanisasi, hal-hal yang disebut di atas sebenarnya bukan masalah terpenting, justru dengan adanya sistem-sistem sekuler di ataslah bangsa ini menjadi bangsa yang tertinggal, menjadi bangsa yang kerdil yang hanya bisa menghamba kepada barat. Sehingga bangsa ini menjadi negara yang ter korup sedunia. Dengan korupsi yang memakan sampai 30% dari anggaran total negara (apakah ini termasuk semua "markup biaya" dan gaji-gaji pegawai negeri yang tidak-produktif), dan alokasi anggaran negara untuk pendidikan yang kurang dari….?
Di negara kaya, seperti Indonesia, pendidikan sampai tamat sekolah menengah seharusnya gratis (biayanya dari pemerintah). Pendidikan adalah hal yang paling penting di negara yang sedang berkembang. Kalau sumber alam di kelola dengan baik, dan dengan tanah yang subur di mana-mana, seharusnya negara ini termasuk yang paling kaya di Asia Tenggara. Tetapi kalau kita melihat hal pendidikan, masyarakat terus meminta beasiswa dan biaya pendidikan seperti pengemis di pinggir jalan.
Pada waktu tahun 70an sampai 80an keadaan pendidikan di Indonesia dan Malaysia tidak begitu berbeda dan beberapa guru dari Indonesia dibawa ke Malaysia untuk membantu. Sekarang pendidikan di Malaysia termasuk yang paling baik di dunia, tetapi Indonesia tidak maju dan sekarang biaya pendidikan yang bermutu rendah saja sudah mulai menjadi di luar jangkauan kebanyakan masyarakat di Indonesia. Ditambah lagi mutu pendidikan sangat tertinggal, di negara-negara ASEAN saja mutu pendidikan Indonesia sudah jauh tertinggal bahkan berada di urutan terakhir setelah Vietnam, padahal kalau kita lihat Vietnam hanyalah sebuah negara kecil yang baru merdeka jauh sebelum Indonesia merdeka. Tetapi justru negara yang sempat dikatakan sebagai macan Asia ini menjadi negara yang miskin, bahkan Husian Matla dalam bukunya Antara Ekonomi Budak dan Ekonomi Orang Merdeka mengibaratkan bangsa Indonesia sebagai negara yang miskin yang membiayai negara yang jompo.
Hal itulah yang terjadi sekarang, kekayaan alam bangsa ini terus saja dirampok oleh bangsa asing dengan sangat leluasa nya, penguasa kita hanya berdiam diri dan bahkan membiarkan Ibu Pertiwi ini di Perkosa oleh bangsa asing (dicuri sumber daya alamnya). Dan yang lebih aneh lagi munculnya undang-undang yang seakan-akan membantu asing untuk merampok kekayaan alam ini seperti undang-undang Penanaman Modal, undang-undang Migas, undang-undang sumber daya alam, undang-undang Kelistrikan dan lain sebagainya, serta memprivatisasi BUMN.
Kita dapat membahas soal-soal yang lain tetapi kita tidak dapat berharap akan ada kemajuan yang signifikan sampai pendidikan mendapat alokasi paling sedikit 25% dari anggaran negara.
Penderitaan rakyat ini sudah cukup banyak mulai dari masalah kelaparan sampai masalah tidak adanya jaminan kesejahteraan (pendidikan mahal, biaya kesehatan yang mahal, bahan pokok mahal serta keamanan yang seakan-akan hanya milik orang yang kaya dan konglomerat saja). Negara ini seperti negara yang tak ber penghuni, setiap saat dirampok asing tetapi sepertinya tidak ada tanggapan dari penduduk bangsa ini.
Kenyataan yang ironis, kaum miskin tetaplah miskin, pendidikan tetaplah hanya untuk orang-orang yang kaya, kaum miskin cukuplah hanya isapan jempol. Akses kesehatan hanya dinikmati orang kaya. Dan orang miskin selalu "dilarang sekolah" dan "dilarang sakit".
Sampai kapan semua ini akan berakhir? Yang lain sudah maju sedangkan kita bukannya berjalan di tempat tetapi malah jalan mundur, demokrasi dan reformasi yang dijanjikan hanya kebohongan belaka, sampai saat ini sudah 10 tahun reformasi, negara ini bukannya berjalan maju tetapi malah berjalan mundur. Yang dulunya mengekspor beras ke negara Vietnam kini justru malah mengimpor beras dari negara Vietnam. Apakah Kerajaan Majapahit yang dulu pernah menjadi swasembada beras kini setelah menjadi negara Indonesia telah hilang kesuburannya, dan apakah Sam yang dulu tandus kini setelah menjadi negara Vietnam menjadi subur.
Hingga saat ini krisis di segala segi masih mencengkram negeri kita. Ia seolah penyakit kronis yang sukar disembuhkan sehingga sempat membuat negeri ini “koma”. Salah satunya yaitu krisis ekonomi moneter.
Di tengah situasi perekonomian yang kontemporer saat ini, angka kejahatan semakin meningkat, sebagai salah satu dampak negatif dari krisis ekonomi. Ironisnya lagi, seiring dengan krisis ekonomi tersebut, krisis moral pun juga ikut merajalela. Bahkan banyak orang yang tega yang menghilangkan nyawa saudaranya hanya karena sesuap nasi. Realita ini tidak bisa kita pungkiri.
10 tahun sudah kebohongan reformasi telah menyelimuti kita semua, serta telah berpuluh-puluh tahun sudah demokrasi telah membuka lebar lubang penderitaan rakyat bangsa ini. Tidakkah kita mencoba menengok sistem yang dulu pernah berjaya berabad-abad, yang telah terbukti menghasilkan ilmuan-ilmuan handal seperti Ibnu Sina dan lain-lain. Yang telah mampu mensejahterakan 2 per 3 bagian bumi ini, dan yang telah melerai peperangan di muka bumi.
Hanya dengan menerapkan aturan Islamlah bangsa ini akan berjaya, tanpa itu semua negara ini akan selalu menjadi bahan olok-olokan bangsa di dunia. Dan berjuta-juta rakyatnya akan selalu menjadi penghamba. Sudah saatnyalah kita semua meninggalkan kebohongan ini, yang terus saja telah menghisap darah serta menggerogoti kulit-kulit rakyat bangsa ini. Setiap undang-undang yang dibuat oleh penguasa selalu saja tidak berpihak kepada rakyat tetapi justru berpihak kepada penguasa dan pengusaha.

Tidak ada komentar: