Selasa, 02 Desember 2008

BBM

Akhirnya harga BBM dipastikan naik lagi. Kepastian naiknya harga BBM diumumkan Pemerintah melalui Menko Ekonomi Boediono setelah rapat terbatas di Kantor Presiden Senin (5/5) lalu. Menurut Presiden SBY sendiri, tahapan sekarang bukan lagi membahas harga BBM naik atau tidak, tetapi bagaimana imbas kenaikan BBM 20-30 persen terhadap berbagai komoditas, termasuk instrumen untuk melindungi rakyat miskin dan berpenghasilan rendah (Republika, 6/5/). Padahal sehari sebelumnya Presiden SBY sepakat untuk tidak terlalu cepat menaikkan harga BBM. Kebijakan menaikkan BBM adalah langkah terakhir (Kompas, 5/5).
Faktanya, “langkah terakhir” inilah yang justru dengan cepat ditempuh oleh Pemerintah. Alasan utamanya, sebagaimana berkali-kali diungkap Pemerintah, adalah tekanan yang semakin berat terhadap APBN 2008 akibat terus membengkaknya anggaran subsidi BBM sebagai dampak langsung dari terus meroketnya harga BBM di pasaran internasional hingga nyaris menembus US$ 120 perbarel.
Yang amat disesalkan, kebijakan Pemerintah untuk menaikkan harga BBM akan diberlakukan justru di tengah-tengah jeritan masyarakat dari berbagai lapisan yang tengah menderita akibat himpitan ekonomi dan beban hidup yang semakin berat. Tidak jarang, bagi yang tipis iman, frustasi hingga bahkan diakhiri dengan aksi bunuh diri menjadi pilihan. Ini sudah banyak terjadi dan diekspos oleh banyak media akhir-akhir ini.
Karena itu, apapun alasannya, kebijakan Pemerintah untuk menaikkan harga BBM rata-rata 30% adalah kebijakan yang zalim karena akan semakin menyengsarakan rakyat.
Betulkah Tidak Ada Langkah Lain?
Sebagaimana yang sudah-sudah, ketika krisis ekonomi terjadi, kebijakan menaikkan tarif kebutuhan pokok seperti BBM pada akhirnya selalu menjadi “langkah terakhir” yang menjadi favorit Pemerintah. Dengan menyebut kebijakan menaikkan BBM sebagai “langkah terakhir” Pemerintah seperti berupaya meyakinkan masyarakat, bahwa Pemerintah telah sungguh-sungguh menempuh cara-cara lain di luar “langkah terakhir” tersebut. Padahal jelas masih ada cara atau langkah lain yang bisa ditempuh untuk mengatasi krisis ekonomi ini.
Jika kita memperhatikan struktur pengeluaran APBN, ada tiga kelompok besar yang secara seksama peranannya masing-masing dalam menjaga kesinambungan fiskal, yaitu: (1) pengeluaran Pemerintah pusat (investasi sektoral dan belanja rutin); (2) transfer ke pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi fiskal; (3) pembayaran bunga dan cicilan pokok utang (luar negeri dan dalam negeri).
Karena itu, secara teknis pun, setidaknya ada tiga cara/langkah lain sebelum Pemerintah menempuh langkah menaikkan harga BBM:
Penghematan belanja rutin. Ini sudah dilakukan Pemerintah, yang memotong anggaran untuk kementerian dan lembaga sebagai kompensasi kenaikan subsidi yang berkaitan dengan BBM, termasuk subsidi listrik. Hendaknya penghematan ini juga dilakukan di seluruh daerah.
Memanfaatkan dana APBD yang mengendap di BI dalam bentuk SBI yang bunganya jelas menambah beban Pemerintah. Sepanjang tahun 2007 saja, menurut catatan Pemerintah, dana APBD yang mengendap di BI dalam bentuk SBI mencapai sedikitnya Rp 146 triliun (Waspada Online, 27/8/07). Lebih dari itu, sepanjang tahun 2007, ternyata APBD kita rata-rata surplus cukup besar (Okezone.com, 6/5/08). Ini jelas bisa dimanfaatkan secara optimal untuk mengurangi beban Pemerintah dan masyarakat.
Penangguhan pembayaran utang luar negeri. Tahun 2008 ini cicilan pembayaran utang plus bunganya mencapai Rp 151,2 triliun (Beritasore.com, 25/11/2007). Penangguhan ini jelas akan membantu mengurangi beban berat APBN.
Selain itu, menurut Ekonom Dr. Hendri Saparini, Pemerintah bisa mengurangi anggaran subsidi bank rekap yang mencapai puluhan triliun rupiah. Langkah lainnya adalah memotong rantai broker (baik dalam ekspor maupun impor minyak oleh Pertamina) yang sangat merugikan. (al-Wa’ie, No. 92/April/2008).
Akar Persoalan
Jika kita cermati, kebijakan untuk menaikkan harga BBM sesungguhnya terkait dengan rencana lama Pemerintah untuk mengurangi secara bertahap—bahkan menghapus sama sekali—subsidi di bidang energi. Artinya, bisa dikatakan, kenaikan harga BBM di pasar internasional hanyalah “faktor kebetulan” saja, yang kemudian dijadikan momentum oleh Pemerintah. Pasalnya, penghapusan subsidi adalah konsekuensi logis dari penerapan sistem Kapitalisme. Dalam Kapitalisme, negara sama sekali tidak berkewajiban untuk menjamin kebutuhan publik seperti BBM, listrik, pendidikan atau kesehatan masyarakat. Seluruhnya diserahkan pada mekanisme hukum pasar. Hal ini diperparah sejak krisis yang menimpa Indonesia tahun 1997. Pemerintah Indonesia secara resmi meminta bantuan dan campur tangan IMF dan Bank Dunia dalam mengatasi krisis ekonomi dan moneter. Salah satu tuntutan IMF adalah agar Pemerintah menghapuskan subsidi yang sebelumnya digunakan untuk membantu masyarakat membeli BBM dan mengurangi tarif dasar listrik. IMF berdalih bahwa untuk mengurangi defisit anggaran belanja negara, salah satu cara yang harus dilakukan adalah mengurangi dan menghapuskan subsidi Pemerintah terhadap BBM dan TDL.
Selain itu, yang tak kalah besar dampak buruknya bagi masyarakat, adalah kebijakan Pemerintah untuk melakukan liberalisasi ekonomi, khususnya di sektor energi. Liberalisasi sektor energi tidak hanya di sektor hulu (eksplorasi), tetapi juga di sektor hilir (distribusi dan pemasaran). Pemerintah lewat UU Migas berjanji untuk mengikis habis monopoli di Pertamina. Yang ditawarkan kemudian adalah membuka kesempatan bagi perusahaan swasta lain untuk ikut berkompetisi dalam distribusi dan pemasaran migas. Dengan alasan supaya kompetisi dalam distribusi dan pemasaran bisa ’adil’, lagi-lagi subsidi minyak harus dicabut. Sebab, jika masih ada minyak bersubsidi di pasaran, pemain asing enggan masuk. Ini setidaknya pernah ditegaskan oleh Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, ”Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas…Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi Pemerintah. Sebab, kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.” (Kompas, 14/5/03).
Sepintas ide ini cukup menarik. Namun, ancaman di balik itu sungguh sangat mengerikan. Saat ini yang paling siap untuk berkompetisi adalah perusahaan-perusahaan multinasional. Karena mereka yang paling siap, maka merekalah yang akan merebut pangsa pasar distribusi dan pemasaran migas di Indonesia.
Menurut Dirjen Migas Dept. ESDM, Iin Arifin Takhyan, saat ini terdapat 105 perusahaan yang sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU) (Trust, edisi 11/2004). Di antaranya adalah perusahaan migas raksasa seperti British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika).
Dikeluarkannya Undang-Undang Minyak dan Gas Nomor 22 Tahun 2001 bisa mengancam keamanan pasokan BBM di dalam negeri karena memperbolehkan perusahaan minyak yang menjadi kontraktor bagi hasil (KPS) di Indonesia untuk menjual sendiri minyaknya. Pasalnya, jika terjadi penurunan produksi di dalam negeri, bisa saja mereka tetap menjual minyak mereka ke luar negeri. Kilang-kilang Indonesia juga terancam tidak mendapatkan minyak mentah saat liberalisasi Migas dimulai tahun 2005. Alasannya, biaya produksi minyak di dalam negeri yang rata-rata 3 dolar AS dinilai terlalu mahal, sementara di luar negeri lebih rendah.
Adapun di sektor hulu, di Indonesia saat ini ada 60 perusahaan kontraktor; 5 (lima) di antaranya masuk kategori super majors yaitu, Exxon Mobil, Chevron, Shell, Total Fina Elf, Bp Amoco Arco, dan Texaco; selebihnya masuk kategori majors yaitu, Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, Japex, dan perusahaan kontraktor independen. Dari 160 area kerja (working area) yang ada, super majors menguasai cadangan masing-masing minyak 70% dan gas 80%. Adapun yang termasuk kategori majors menguasai cadangan masing-masing, minyak sebesar 18% dan gas sebesar 15%. Perusahaan-perusahaan yang masuk kategori independen, menguasai minyak sebesar 12% dan gas 5%.
Jumlah produksi Indonesia pertahun




Tahun Produksi Konsumsi Ekspor Impor
2008 84,822,501.00 76,714,500.00 29,623,200.00 23,224,200.00
2007 347,493,172.00 321,302,814.00 127,134,792.00 110,448,506.36
2006 359,289,337.00 349,845,435.00 111,172,003.15 113,545,934.13
2005 385,497,959.00 357,493,997.00 156,766,006.00 120,159,324.81
2004 400,486,234.00 375,494,636.00 180,234,938.00 148,489,589.13
2003 415,814,157.00 373,190,759.00 211,195,794.52 129,761,738.00
2002 455,738,915.00 358,806,832.00 216,901,729.00 121,269,175.75
2001 489,849,297.00 375,668,315.00 239,947,960.00 118,361,896.69
2000 517,415,696.00 383,955,955.00 225,840,000.00 79,206,903.00
Sumber data: http://dtwh2.esdm.go.id/dw2007/
Solusi yang dapat diambil agar BBM tidak naik
1 Penghematan belanja negara hingga 20 persen, mulai dari kantor kepresidenan, DPR, kementerian, dan lembaga negara lain. Dari sini minimal Rp 20 triliun bisa dihemat.
2 Pembayaran angsuran utang harus dijadwalkan kembali, bahkan pembayaran bunga (riba) utang yang ternyata memakan porsi yang cukup besar tidak harus dibayar. Dalam APBN tahun 2008 ini cicilan pembayaran utang plus bunganya mencapai Rp 151,2 triliun (Beritasore.com, 25/11/2007). Renegosiasi pembayaran bunga dan atau pokok utang luar negeri harus dilakukan. Untuk membayar bunga saja sekitar Rp 94 triliun (lebih dari 10 miliar dolar AS).
3 Memanfaatkan dana APBD yang mengendap di BI dalam bentuk SBI yang bunganya jelas menambah beban Pemerintah. Sepanjang tahun 2007 saja, dana APBD yang mengendap di BI dalam bentuk SBI mencapai sedikitnya Rp 146 triliun (Waspada Online, 27/8/07). Lebih dari itu, sepanjang tahun 2007, ternyata APBD kita rata-rata surplus cukup besar (Okezone.com, 6/5/08).
4 Pajak progresif terhadap komoditas yang booming, seperti minyak, gas, batubara, tembaga, dan perkebunan. Tax rate-nya dinaikkan sejalan dengan naiknya harga. Jika tax rate atas minyak ditetapkan 50 persen, penerimaan pajak bisa naik minimal Rp 9 triliun. Bila 60 persen, naiknya Rp 15 triliun (Drajat Wibowo, (Republika, 7/5).
5 Memangkas perantara yang ada dalam ekspor dan impor minyak. Perantara ini cuma calo, berbasis di Singapura, dan mengambil margin minimal 0,5-1,0 dolar AS per barel (Drajat Wibowo, (Republika, 7/5).
6 Lindung nilai (hedging) harga minyak dapat menghemat sedikitnya Rp 55,2 triliun. Jika realisasi harga minyak 115 dolar AS per barel dan hedging beli di harga 95 dolar AS, terdapat selisih 20 dolar AS. Dengan mengalikan selisih 20 dolar AS terhadap konsumsi BBM 35,5 juta kiloliter, ada potensi penerimaan Rp 44,59 triliun (Sunarsip, (Republika, 7/5).
7 Menekan besaran alpha (margin distribusi BBM) pendistribusian BBM bersubsidi ke Pertamina dari 9 persen menjadi 5 persen. Subsidi yang bisa dihemat dari penurunan alpha Rp 9,534 triliun (Agung Pri Rakhmanto, (Republika, 7/5).
8 Pengembalian dana BLBI sebesar 225 triliun dari sejumlah konglomerat hitam.
9 Pemerintah harus memanfaatkan seoptimal mungkin sumber daya alam (migas, emas, batubara, dan lainnya) yang sangat melimpah itu, yang hakikatnya adalah milik seluruh rakyat. Maka, sumber daya alam tersebut harus dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat, bukan justru menjual atau menyerahkan pengelolaannya kepada swasta, baik asing maupun domestik.
Akibat yang ditimbulkan dari kenaikkan harga BBM tiada lain adalah menambah jumlah pengangguran, sekarang jumlah pengangguran bertambah sekitar 95.995 orang dengan angka kemiskinan naik sekitar 14,15 persen, inflasi dari 6,5 persen menjadi 12,2 persen. Dengan angka yang sangat tidak signifikan ini apakah Pemerintah menganggap berhasil dana Bantuan Langsung Tunai (BLT)??? Dengan Rp 100.000,- perbulan yang kalau diakumulasikan berarti perhari sekitar Rp 3.000,- apakah dengan uang sebesar Rp 3.000,- perhari ini rakyat akan menjadi sejahtera, apakah rakyat akan makmur??? Dimana hati Pemerintah kita? Kebijakan menaikkan harga BBM sekali lagi adalah kebijakan yang sangat keliru, dan bahkan dapat dikatakan adalah kebijakan yang menzalimi rakyat. Penderitaan rakyat apakah telah sampai pada batas akhirnya? Jika kita melihat lebih jauh maka yang dilakukan Pemerintah itu sungguh tidak berpihak kepada rakyat tapi koorporasi asing. Karena dengan menaikkan harga BBM berarti kita telah menyumbangkan sebagian besar kekayaan alam kita untuk asing alasannya karena yang banyak memegang sumber daya migas kita adalah asing jadi ketika menaikkan harga BBM berarti sama dengan membantu mereka menjual minyak di negeri kita dengan harga yang mahal berarti Pemerintah dapat dikatakan orang yang telah dibodohi, karena mau menuruti perintah asing ketimbang memikirkan 220 juta penduduknya sendiri. presiden dan wapres merasa tidak bisa diturunkan karena dipilih langsung oleh rakyat, dan DPR diam. Teori check dan balances hanyalah omong kosong.
Akibat lain dari kenaikkan harga BBM : Ribuan buruh Jatim tuntut kenaikan UMR, empat fraksi DPRD Indramayu tolak BLT, seluruh jurusan terminal Surabaya mogok. Bank dunia menyatakan bahwa Indonesia telah berhasil mereformasi anggaran dan mengarahkan ekonomi ke jalan yang benar (MetroTV, 26/5/08, pk 11.20)
KOM: Ini tunjukan bahwa kenaikan BBM: (1) tidak pro rakyat, (2) intervensi Bank Dunia (BD). Hal ini dipertegas oleh pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsi yang mengatakan kebijakan pemerintah menaikan BBM adalah rekomendasi Bank Dunia (TVone, 26/5/08), (3) pemerintah telah menjadi budak asing.
Ini adalah kutipan pernyataan wakil presiden kita
Wapres JK meminta penerima BLT memberikan penjelasan kepada para demonstran bahwa kenaikan BBM lebih enak: “Tolong yang marah-marah itu bilangin. Lebih enak begini (harga BBM naik dan BLT dibagi) daripada BBM murah)” (KOMPAS, 25/5).

Tidak ada komentar: